Jaminan Sosial Tenaga Kerja Informal, Siapa yang Bertanggungjawab?

Serang — Program jaminan sosial untuk melindungi warga Negara nampak pelaksanaannya tidak pernah surut dari kendala yang dihadapi. Kendati adanya Undang-undang No. 24 Tahun 2011, tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), tetapi masih saja timbul kendala, yang justru memerlukan penanganan ekstra.

Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim se Indonesia (ICMI) Organisasi Wilayah (Orwil) Provinsi Banten, Prof. Dr. Lili Romli, menyatakan urusan jaminan sosial yang menyangkut kepentingan masyarakat membutuhkan penanganan khusus dan perlu ikutserta para pihak (stake holder).

Bacaan Lainnya

“Jaminan sosial sangat penting untuk melindungi warga Negara. Maka penanganannya harus ada keikut sertaan stake holder agar program berjalan sesuai yang diharapkan,” ujar Lili Romli. (15/12).

Seperti jaminan sosial untuk para pekerja, pada sektor ketenagakerjaan di kenal dengan tenaga kerja formal dan informal. Dalam hal jaminan sosial bagi tenaga kerja formal pelaksanaannya tidak terlalu sulit karena adanya pemberi kerja yang mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.

“Ya untuk tenaga kerja formal tidak terlalu sulit, karena pemberi kerja yang pastinya sudah mendaftarkan pekerjanya ke badan penyelenggara,” kata Lili Romli.

Tetapi bagi tenaga kerja informal, kata Lili Romli menjelaskan, perlu ekstra dalam penanganannya karena tersebar dan tidak berkelompok. Maka pemerintah harus merangkul organisasi masyarakat (Ormas) yang konsen terhadap kepentingan masyarakat dan pembangunan di Banten.

Sementara itu Muhammad Zuhri, Ketua Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan menjelaskan, tenaga kerja informal tersebar diberbagai pelosok secara individu. Ini berbeda dengan tenaga kerja formal yang berkelompok dan jelas keberadaannya.

“Tenaga kerja informal itu sangat banyak. Mereka individu, seperti petugas masjid, petani, nelayan, para pengusaha kecil, juga pedagan. Mereka riskan terhadap kecelakaan dan juga penting bagi mereka untuk mendapat jaminan hari tuanya,” kata M. Zuhri.

BPJS Ketenagakerjaan, lanjutnya, ada program disebut penerima upah (PU) dan bukan penerima upah (BPU). Bagi PU, tentunya sudah jelas mereka pekerja-pekerja di perusahaan yang mendaftarkannya. Tetapi bagi BPU sangat banyak dan penangannya memerlukan andil para stake holder, khususnya Ormas-ormas yang visi misinya terkait dengan kepentingan masyarakat.

Sementara menurut kepala BPJS Ketenagakerjaan Wilayah Banten, Yasarudin, BPJS Ketenagakerjaan memiliki visi mewujudkan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang terpercaya, berkelanjutan dan menyejahterakan seluruh pekerja Indonesia. Sedangkan misinya, melindungi, melayani dan menyejahterakan pekerja dan keluarga. Memberikan rasa aman, mudah dan nyaman untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing peserta.

Misi lain BPJS Ketenagakerjaan, memberikan kontribusi dalam pembangunan dan perekonomian Bangsa dengan tata kelola yang baik.

Pada kesempatan itu ormas-ormas yang hadir seperti ICMI, PW NU, Muslimat, Aisyiyah, PUB, BAZNAS Banten, FSPP, DD Banten, IPJI, KNPI dll menandatangani pernyataan bersama yang mendorong agar Pemerintah Provinsi, Kab/Kota, Swasta, dan seluruh stakeholder untuk peduli kepada kesejahteraan sosial ketenagakerjaan pekerja rentan di Banten. (rls/fan)

Pos terkait