Oleh : Dedi Kusnadi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Hantaman badai pandemi Covid-19 mengajarkan masyarakat untuk berhemat di segala bidang. Dana lebih dikhususkan untuk hal-hal penting dan mendesak. Perencanaan pembiayaan pun dilakukan dengan sangat hati-hati, demi mengantisipasi merebaknya badai berikutnya.
Di sisi lain pemerintah harus menyiapkan dana yang cukup untuk menangani pandemi. Dana tersebut antara lain untuk penyediaan sarana kesehatan, vaksin gratis, bantuan sosial, dan stimulus lainnya. Mau tidak mau pemerintah harus mengoptimalkan semua sumber penerimaan negara, termasuk dari sektor perpajakan.
Optimalisasi penerimaan dari sektor perpajakan dilakukan melalui pemanfaatan data, baik dari internal mau pun eksternal. Sebagai gambaran, pada 2018, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menerima data saldo rekening dari luar negeri senilai Rp 2.742 triliun dan dari dalam negeri Rp 3.574 triliun. Serta data dari luar negeri lainnya berupa dividen, bunga, penjualan, dan penghasilan lainnya senilai Rp 683 triliun.
Dari hasil analisis dan permintaan penjelasan, masih ada data saldo rekening yang belum terklarifikasi senilai Rp 670 trilliun milik 131.438 wajib pajak dan data penghasilan senilai Rp 676 trilliun milik 50.095 wajib pajak.
Menurunnya kemampuan ekonomi masyarakat, kebutuhan dana pembangunan yang besar, serta masih banyaknya data yang belum terklarifikasi, memicu pemerintah menggulirkan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Kebijakan ini berisi pemberian kesempatan kepada wajib pajak untuk melaporkan kewajiban yang belum dipenuhi secara sukarela, melalui pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) berdasarkan pengungkapan harta.
Program ini juga dikeluarkan mengingat masih ada peserta program amnesti pajak yang belum melaporkan seluruh asetnya. Jika data aset ini ditindaklanjuti oleh DJP, maka tarif pajaknya sangat besar yaitu 25 persen untuk Wajib Pajak (WP) Badan, 30 persen untuk WP Orang Pribadi (OP), dan 12,5 persen untuk WP Tertentu, ditambah sanksi administrasi sebesar 200 persen.
Sedangkan untuk WP OP yang belum melaporkan seluruh penghasilannya, yang diperoleh selama 2016 – 2020, maka akan dikenakan PPh sesuai tarif yang berlaku dan ditambah sanksi administrasi. Tarif tertinggi untuk jenis pajak ini bisa mencapai 30 persen.
Mekanisme PPS
PPS akan berlangsung selama 6 bulan, mulai 1 Januari 2022 – 30 Juni 2022. Kegiatan ini memuat 2 skema, yaitu Kebijakan I, diikuti oleh wajib pajak yang dulu pernah mengikuti program amnesti pajak, baik WP Badan maupun OP, yang masih memiliki harta yang belum dilaporkan. Basis pengungkapannya adalah harta yang belum dilaporkan sampai dengan 31 Desember 2015.
Besarnya tarif PPh Final pada skema ini sebesar 11 persen jika hanya mendeklarasikan harta di luar negeri, namun jika harta dari luar negeri tersebut dipulangkan ke Indonesia (repatriasi) maka tarifnya menjadi 8 persen. Tarif ini juga berlaku bagi deklarasi harta yang ada di dalam negeri.
Lain lagi jika harta dari luar negeri dan harta di dalam negeri tersebut diinvestasikan pada Surat Berharga Negara (SBN), sektor pengolahan sumber daya alam, atau sektor energi terbarukan, maka tarifnya hanya 6 persen.
Kebijakan II, khusus untuk WP OP yang memperoleh penghasilan dari 2016 – 2020 dan belum dilaporkan pada SPT Tahunan. Basis pengungkapannya adalah harta perolehan mulai 2016 – 2020 yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan 2020.
Besarnya tarif pada kebijakan ini adalah 18 persen jika hanya deklarasi harta di luar negeri, 14 persen jika harta dari luar negeri direpatriasi atau harta di dalam negeri yang diungkap, dan hanya 12 persen jika harta di dalam maupun di luar negeri tersebut diinvestasikan di 3 sektor tadi.
Kebijakan II bisa dikuti jika wajib pajak tidak sedang diperiksa atau dilakukan pemeriksaan bukti permulaan untuk tahun pajak 2016 – 2020. Juga wajib pajak tidak sedang dilakukan penyidikan, dalam proses peradilan, atau sedang menjalani tindak pidana dibidang perpajakan.
Untuk mengikutinya, wajib pajak diminta mengunjungi laman djponline.pajak.go.id. Pelaporannya dilakukan secara elektronik dan surat keterangan telah menyampaikan laporan pengungkapan harta pun diperoleh secara otomatis melalui sistem tersebut.
Melalui sarana itu juga, wajib pajak dapat mengajukan perbaikan berkali-kali tanpa batas. Dapat juga diajukan pembatalan, namun jika mengajukan pembatalan maka tidak dapat lagi mengajukan surat pemberitahuan pengungkapan harta.
Manfaat PPS
Kegiatan PPS memberi kesempatan kepada wajib pajak untuk menghemat biaya pembayaran pajak. Tarif pajak pada kedua skema kebijakan ini jauh lebih rendah dari tarif seharusnya.
Manfaat lainnya untuk peserta kebijakan I, tidak dikenakan sanksi kenaikan sebesar 200 persen dan adanya perlindungan data. Perlindungan ini terkait data yang disampaikan sebagai pelaksanaan kebijakan ini, tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan atau penuntutan pidana terhadap wajib pajak yang bersangkutan.
Untuk peserta kebijakan II, selain perlindungan data seperti di kebijakan I, juga akan memperoleh manfaat lainnya yaitu tidak diterbitkan ketetapan pajak (tidak diperiksa) untuk kewajiban 2016 – 2020, kecuali ditemukan harta yang kurang diungkap.
Pemerintah telah memberikan pilihan cara penyelesaian kewajiban perpajakan, sesuai dengan kondisi saat ini. Sangat disayangkan jika tawaran menggiurkan ini tidak dimanfaatkan. Mari bersama-sama membangun Indonesia yang lebih maju, sesuai dengan peran dan kemampuan masing-masing, sesuai petuah Sang Proklamator:
“Jika kita mempunyai keinginan yang kuat dari dalam hati, maka seluruh alam semesta akan bahu-membahu mewujudkannya.” – Ir. Soekarno
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.