LEBAK – Pemkab melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) setempat berencana menggunakan transaksi digital di pasar tradisional. Hal ini dicetuskan di tengah pandemi agar bisa memecah kerumunan, mempermudah, dan nyaman.
Kabid Perdagangan Disperindag Lebak, Dedi Setiawan menyatakan, Pasar Rangkasbitung akan menjadi pilot project penerapan digitalisasi di pasar-pasar tradisional lainnya di Lebak.
“Dalam waktu dekat ini dari Bank Indonesia (BI) akan melakukan sosialisasi mengenai digitalisasi ini kepada pedagang dan pengunjung,” katanya kepada Banten Ekspres, Senin (14/2).
Sebagai tahap awal, lanjut Dedi, penerapan digitalisasi akan dilakukan untuk penarikan retribusi pedagang dengan Quick Response Code Indonesia Standar (QRIS) yang difasilitasi oleh Bank BJB.
“Jadi nanti penarikan retribusi pedagang oleh petugas dilakukan secara non tunai. Ini juga salah satu upaya kita mencegah terjadinya kebocoran penerimaan retribusi PAD,” ujar Dedi.
Namun di tahap awal, digitalisasi tidak hanya dinikmati oleh pedagang dan petugas dalam hal penarikan retribusi. Kemudahan pembayaran tersebut juga akan dirasakan oleh para pembeli Pasar Rangkasbitung.
“Apalagi di tengah kondisi masih pandemi seperti ini kita didorong agar sebisa mungkin menghindari pembayaran tunai. Jadi selain lebih mudah, juga aman. Untuk transaksi pembayaran ini difasilitasi Bank BRI,” katanya.
Digitalisasi pasar tradisional, kata Dedi, harus disambut baik karena pemanfaatan teknologi digital memiliki berbagai keunggulan.
“Tentu lebih mudah, lebih cepat, dan keamanan saat bertransaksi antara pembeli dan penjual,” paparnya.
Sementara itu, Anggota Komisi II DPRD Lebak, Aad Firdaus mengatakan, jika salah satu tujuan digitalisasi retribusi adalah untuk mencegah kebocoran pendapatan daerah maka yang harusnya menjadi prioritas pemerintah daerah adalah retribusi parkir.
“Pertambahan dan berkurangnya pedagang kan tidak setiap jam, kenapa retribusi parkir yang tiap detik keluar masuknya tidak dianggap berpotensi kebocoran PAD yang lebih penting,” ungkapnya.
Menurut Aad, pedagang lebih terukur, terhitung, dan tercatat juga tetap karena mengisi ruang dengan luasan tertentu dan dengan kapasitas tertentu.
“Yang tentunya kelas sasaran retribusinya sudah ditentukan besarannya, yang tentunya berbeda oleh pemerintah disesuaikan dengan luasan maupun jenis dagangan,” ujar politisi Partai Perindo ini.
Kemudian soal sistem pembayaran non tunai antara pembeli dan penjual, Aad menyarankan agar tidak perlu diperumit.
“Pemerintah daerah tidak perlu repot-repot mengatur itu, biar itu jadi pemenuhan kebutuhan pembeli. Artinya, ketika pembeli dominan berbelanja dengan model transaksi non tunai maka dengan sendirinya pedagang akan menyiapkan alat transaksi non tunai,” ucapnya. (mg-5/tnt)