Dia juga menyoroti maraknya spanduk bertebaran dari kalangan birokrat di lingkup Pemkot Tangerang yang bakal maju mencalonkan sebagai kepala daerah. Terlepas dari aturan, balon dari kalangan birokrat tersebut harus memerhatikan faktor etik.
“Pejabat pemerintah paling tinggi Pratama eselon golongan IIa. Kalau bahasa Betawi mah maksudnya jangan pada nyeloncong yang bawahan, kan ada atasan, kulonuwun permisi begitu. Kalau soal hak mencalonkan sudah jelas memiliki hak yang sama sebagai warga negara, tapi harus ngukur diri. Masa kepala dinas tiba-tiba mau langsung jadi Wali Kota, yah tertib lah yang tadinya wakil naik intinya orang yang sudah berpengalaman mengurus kota ini Klir sudah itu,” bebernya.
Sedangkan untuk pendampingnya, lanjut KH Baijuri, banyak variabel. Meski demikian, untuk pendamping sebagai Wakilnya merupakan hak calon wali Kota dan pengurus partai politik gabungan yang mengusungnya, namun tidak lepas adanya keterlibatan pertimbangan-pertimbangan dari tokoh masyarakat dan tokoh agama termasuk MUI Kota Tangerang.