“Aksi teatrikal ini dilakukan sebagai lambang bahwa kebebasan pers sedang dibungkam,” ujar Hendrik.
Ia menegaskan, DPR harus menghentikan revisi undang-undang tersebut. Menurutnya, jika ingin menyusun kembali harus melibatkan organisasi pers, akademisi, serta masyarakat sipil.
“Ini memastikan bahwa tiap regulasi yang dibuat harus sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan juga kebebasan pers,” tukasnya.
Dia menjelaskan, revisi UU penyiaran mengandung beberapa pasal bermasalah dan berpotensi mengancam kemerdekaan pers serta demokrasi di Indonesia.
Salah satu pasal yang disorot adalah larangan laporan investigasi. Pasal ini dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang menegaskan bahwa pembredelan, penyensoran, dan pelarangan penyiaran sudah tidak berlaku.
Dia memaparkan, beberapa pasal yang dianggap membungkam kebebasan pers diantaranya, Pasal 8A huruf (q). Dalam Pasal 8A huruf (q) draf Revisi UU Penyiaran, disebutkan bahwa KPI dalam menjalankan tugas berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran.